Selasa, 03 Maret 2015

Sistem Hukum Islam Pasti Menjerakan, dan Menebus Dosa

Sistem Hukum Islam Pasti Menjerakan, dan Menebus Dosa

Cerita Sutinah yang membunuh sampai dua kali, tidaklah sendiri. Ternyata banyak pembunuh tak kapok dengan jeruji besi.

Sebut saja Dedy Arianto Nasution, yang membunuh temannya gara-gara tak mau membayar hutang. Dedy yang kemudian disebut sebagai Koboi Medan itu telah lima kali keluar masuk penjara dalam kasus yang berbeda. Kasus pertamanya juga pembunuhan. Ia divonis sembilan tahun, tapi yang ia jalani hanya setengahnya.

Walhasil cerita, cerita bahwa penjara tak membuat jera, benar adanya. Bahkan, di masyarakat berkembang opini bahwa orang jahat yang masuk penjara, begitu keluar makin pintar karena mendapatkan pelajaran kejahatan yang lebih canggih di penjara.

Nah hal ini tidak akan terjadi dalam sistem hukum Islam. Seperti halnya sistem hukum yang ada, Islam pun sanksi hukum bagi para pelaku kejahatan. Hanya saja ada fungsi yang berbeda antara Islam dan sistem hukum buatan manusia.

Dalam Islam, fungsi hukuman itu ada dua yakni mencegah si pelaku dan orang lain agar tidak mengulangi perbuatan tersebut serta menebus dosa bagi si pelaku atas kejahatan yang dilakukannya. Makanya, hukuman di dalam Islam sangat keras dan tegas.

Abdurrahman Al Maliki dalam bukunya Nidzam Uqubat mejelaskan, pembunuhan termasuk dalam pembahasan jinayat yakni pelanggaran yang terhadap badan yang didalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyat).

Ia membagi tiga kategori pembunuhan yakni pembunuhan yang disengaja, mirip disengaja, dan tidak disengaja. Sanksi bagi pembunuh disengaja adalah dibunuh jika wali orang yang dibunuh tidak memaafkan. Jika ada pengampunan, maka pembunuh harus membayar diyat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Amru bin Syu'aib diyat berupa 30 unta dewasa, 30 unta muda, dan 40 unta yang sedang bunting. 

Pembunuh mirip disengaja adalah pembunuhan yang sengaja dilakukan tapi menggunakan alat yang umumnya tidak bisa membunuh. Kadang-kadang maksudnya untuk menyiksa tapi melampaui batas. pembunuhan seperti ini sanksinya adalah diyat berupa 100 ekor unta, 40 diantaranya adalah unta bunting.

Sedangkan pembunuhan yang tidak disengaja, seperti (1) orang yang tidak bermaksud membunuh tapi tindakannya menyebabkan orang terbunuh atau (2) pelaku membunuh orang di negeri kafir terhadap orang yang disangka kafir harby ternyata muslim, maka sanksinya berbeda. Bagi tindakan (1) maka sanksi yang bersangkutan hanya membayar 100 ekor unta dan membayar kafarat dengan membebaskan budak.  Jika tidak ada budak, maka ia harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Bagi pembunuhan model ke-2, maka cukup membayar kafarat tanpa diyat.

Sementara itu, Islam pun mengatur sanksi terhadap orang-orang yang bersekutu dalam pembunuhan. Termasuk didalamnya aktor yang memerintahkan tindak pembunuhan. Pihak-pihak yang bersekutu dalam pembunuhan ini sanksinya sama yakni dibunuh.

Dengan sistem hukum yang demikian, maka orang akan berfikir seribu kali untuk melakukan tindak pembunuhan dan kejahatan lainnya yang bisa menimbulkan seseorang terbunuh. Di sinilah, sistem hukum Islam akan mampu mencegah orang untuk berbuat jahat. Dan bagi pembunuh, sanksi berupa dibunuh pun menjadi jalan pintas untuk menghindarkan diri dari siksa Allah di akhirat.

Hanya saja, sistem hukum seperti itu tidka mungki bisa tumbuh dalam masyarakat yang sekuler seperti sekarang. Sehingga harus ada perombakan sistem hukum secara total termasuk pelaksana-pelaksana hukumnya. Sistem islam yang kaffah akan melahirkan masyarakat yang takwa. Dari situlah, takwa individu bisa mencegah seseorang dari tindakan kriminal, termasuk pembunuhan. Di sisi lain, masyarakat akan menjadi kontrol bagi anggotanya untuk tidak berbuat kriminal. Dan dari sisi negara, negara akan menjadi hakim yang adil yang memberikan keadilan bagi seluruh rakyat.
 Sumber : Tabloid MediaUmat
 

0 komentar:

Posting Komentar