AURAT WANITA
Ibnu Abbas pernah bertanya kepada ‘Atha bin Abi Rabah,
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
“Ya,” jawab ‘Atha.
Ia berkata, “Wanita berkulit hitam itu.
Dia pernah datang kepada Nabi saw., lalu berkata, ‘Aku menderita
penyakit ayan (epilepsi) dan auratku sering tersingkap (saat penyakitnya
kambuh, peny.). Karena itu doakanlah aku agar Allah
menyembuhkan penyakitku.’ Nabi saw. berkata, ‘Jika engkau mau, engkau
bisa bersabar dan bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa agar
Allah menyembuhkan dirimu.’ Wanita itu menjawab, ‘Aku memilih bersabar
saja. Namun, tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku sering tersingkap.
Karena itu doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’ Lalu Nabi saw. pun
mendoakan wanita itu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
*****
Pembaca yang budiman, khususnya wanita
Muslimah, penyakit ayan bukanlah penyakit ringan. Selain susah sembuh
dan sering kambuh, penyakit ini bisa mengundang aib bagi penderitanya
maupun keluarganya. Apalagi jika penyakit itu diderita oleh seorang
wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung penderita penyakit
ayan dan keluarganya karena banyak orang masih menganggap penyakit ini
sebagai penyakit yang menjijikkan.
Namun, renungkanlah perkataan wanita
berkulit hitam penghuni surga dalam riwayat di atas. Apakah kita
menyaksikan satu kata saja meluncur dari lisannya yang menunjukkan bahwa
ia membenci qadha’—yakni penyakit ayan—yang kebetulan menimpa
dirinya? Apakah ia mengeluhkan penyakit ayan yang ia derita? Apakah ia
merasa malu karena menderita penyakit tersebut? Tidak! Bukan itu yang ia
keluhkan. Bukan itu yang membuat ia malu. Ia mengeluh dan merasa malu
karena auratnya sering tersingkap saat penyakitnya kambuh. Padahal saat
penyakit ayan itu datang, ia tentu dalam keadaan tak sadar. Jika pun
tersingkap auratnya dalam keadaan tidak sadar alias hilang akal, tentu
ia tidak berdosa.
Namun, demikianlah penghuni surga.
Wanita berkulit hitam ini tetap sangat khawatir bila auratnya tersingkap
meski dalam keadaan sakit dan tidak sadar. Bagaimana dengan kebanyakan
wanita zaman sekarang, yang saat sehat dan dalam keadaan sadar pun, rela
bahkan acapkali bangga memamerkan aurat mereka?
*****
Sebagaimana wanita berkulit hitam penghuni surga dalam riwayat di atas, pada zaman dulu para shahabiyah adalah wanita yang amat menjaga kehormatan dan aurat mereka. Para shahabiyah
adalah para wanita yang memiliki rasa malu yang tinggi. Ummul Mukminin
Aisyah ra., istri Rasulullah saw., bahkan mempunyai rasa malu yang luar
biasa. Setelah Rasulullah saw. wafat, Aisyah ra. terbiasa berziarah ke
makam beliau, yang berada di dalam kamarnya, tanpa mengenakan hijab.
Ketika ayah beliau, Abu Bakar ra., wafat dan dikebumikan di sebelah
makam Rasulullah saw., Aisyah ra. masih leluasa berziarah tanpa
mengenakan hijab. Namun, kebiasaan itu berubah ketika Umar bin
al-Khaththab ra. dikuburkan di kamarnya bersebelahan dengan makam
Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. Setiap kali masuk ruangan itu, Aisyah
ra. mengenakan hijab secara sempurna. Itu ia lakukan karena Umar ra.
bukanlah mahram-nya. Padahal Umar ra. telah meninggal dan jasadnya terkubur di dalam tanah (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mawta wa al-Qubur. Beirut: Dar ar-Rasyid, 1916).
Sama dengan Ummul Mukminin Aisyah ra.,
Sayyidah Fatimah az-Zahra ra., putri Rasulullah saw., juga memiliki rasa
malu yang luar biasa. Beliaulah orang pertama yang meminta dibuatkan
keranda agar saat meninggal dan dibawa ke kuburan, jenazahnya diletakkan
di dalam keranda tersebut. Pada waktu itu, umumnya jenazah memang
diusung oleh orang-orang tanpa keranda, seperti yang kita kenal hari
ini.
Suatu saat Fatimah binti Rasulullah
merasa bahwa ajalnya telah dekat. Pasalnya, Rasulullah saw., pernah
mengatakan kepada dirinya bahwa ia adalah anggota keluarga beliau yang
pertama kali wafat menyusul beliau. Putri Rasulullah saw. yang juga
istri Ali Bin Abi Thalib ini lalu berpesan kepada Asma’ binti Umais,
yang hampir setiap hari menjenguk dirinya. “Saya tidak senang atas apa
yang diperbuat terhadap wanita jika meninggal. Jenazah mereka hanya
ditutupi dengan kain kafan sehingga lekuk tubuhnya terlihat,” kata
Fatimah kepada Asma’, putri Abu Bakar ash-Shiddiq.
“Apakah engkau mau aku tunjukkan sesuatu yang pernah aku lihat di Habasyah?” ujar Asma’.
Asma’ lalu membuat semacam keranda.
Kerangkanya terbuat dari pelepah kurma, sedangkan bagian luarnya ditutup
dengan kain. Dengan begitu, jenazah yang dibawa dengan keranda itu
tidak terlihat dari luar. Begitu Fatimah melihat keranda itu, ia sangat
gembira hingga tertawa. Ia lalu berpesan, “Nanti, jika aku meninggal,
kamu dan suamiku, Ali, yang memandikan aku. Jangan ada orang lain yang
ikut memandikan aku. Setelah itu, buatkan keranda seperti itu untuk
diriku.” (HR adz-Dzhabi dalam Syiar A’la an-Nubala, dari penuturan Qutaibah bin Said dan Ja’far ra.).
Demikianlah, sebagaimana penututuran
Ibnu Abdil Barr, ‘’Fathimah ra. adalah orang pertama yang saat meninggal
dimasukkan ke dalam keranda pada masa Islam.’’
*****
Demikianlah Ummul Mukminin Siti Aisyah
ra. Ia tetap merasa malu jika tidak mengenakan hijab meski di hadapan
jasad Umar bin al-Khaththab ra. yang sudah terbujur kaku di dalam tanah.
Demikian pula putri Rasulullah saw., Fatimah az-Zahra ra. Ia tetap
merasa khawatir jika—dalam keadaan sudah terbujur kaku menjadi jenazah
sekalipun—terlihat lekuk tubuhnya.
Bagaimana dengan kebanyakan wanita zaman
sekarang? Sayang sekali, mereka bukan saja tidak malu tersingkap
auratnya. Mereka bahkan acapkali merasa bangga memamerkan lekuk-lekuk
tubuhnya. Kebanggaan mereka semakin bertambah saat bisa ikut serta dalam
ajang lomba kontes kecantikan—semacam Miss World—yang hakikatnya
adalah ‘kontes aurat’. Mereka tak pernah merasa khawatir terhadap
ancaman Allah SWT melalui lisan Rasul-Nya, “Para wanita yang
berpakaian tetapi (pada hakikatnya) telanjang, berlenggak-lengkok dan
kepala mereka seperti punuk unta tidak akan masuk surga ataupun sekadar
mencium baunya.” (HR Abu Daud).
Na’udzu bilLahi min dzalik! [Arief B. Iskandar]
0 komentar:
Posting Komentar