SAMA - SAMA MUSLIM
Perhelatan Miss
World sudah berlalu. Meski mendapat protes keras dari banyak kalangan,
kontes kecantikan wanita sedunia itu tetap saja diselenggarakan di
Indonesia. Hanya tempatnya saja yang berubah. Semula panitia hendak
menyelenggarakan puncak acara penganugerahan Miss World itu di Sentul,
Bogor. Namun, setelah melihat kencangnya reaksi penolakan, akhirnya
Pemerintah memutuskan semua rangkaian kegiatan kontes hanya boleh
diadakan di Pulau Bali.
Di balik kontroversi penyelenggaraan
kontes kecantikan tertua di dunia itu, ada hal menarik. Yang
berhadap-hadapan langsung baik dari pihak yang pro maupun yang kontra
ternyata semua sama-sama Muslim. Di pihak yang kontra jelas semua adalah
Muslim. Lebih 60 ormas atau kelompok Islam—di antaranya MUI, NU,
Muhammadiyah, HTI, FPI, DDII dan lainnya; termasuk ormas perempuan
seperti MHTI, Aisyiah, Muslimat NU dan lainnya—yang tegas menolak.
Sebaliknya, dari kalangan yang bersetuju, seperti GP Ansor, PMII dan
lainnya juga dari kalangan Muslim. Bahkan panitia inti dari Grup MNC
ternyata semua juga adalah Muslim. Di sana ada M. Budi Rustanto
(Direktor Global Mediacom MNC Media), Adjie S. Soeratmadjie (Head
Corporate Secretary RCTI), Sukuri Al-Faruq (Pimpinan Redaksi Koran Sindo), Budi Santosa (Pimpinan Redaksi Okezone.com) dan Gaib (Pimpinan Redaksi Sindo Trijaya).
Ketika delegasi DPP HTI melakukan audiensi ke kantor Kemenkokesra, juga
diterima oleh Deputi VI dan para pejabat yang semua Muslim. Kemudian
ketika audiensi ke Mabes Polri, delegasi DPP HTI juga diterima oleh
Kabaharkam (Kepala Badan Pemelihara Keamanan) Komjen Badrodin Haiti dan
stafnya, jenderal bintang dua dan satu, yang juga Muslim.
Meski sama-sama Muslim, cara pandang
mereka mengenai Miss World sangatlah berbeda. Intinya, ya itu tadi, satu
mendukung, satunya lagi menolak. Pihak yang mendukung rata-rata
menggunakan argumen bahwa ajang itu bisa mengharumkan nama Indonesia,
memperkenalkan budaya bangsa dan meningkatkan pariwisata. Pihak yang
menolak dengan tegas menyatakan bahwa ajang itu adalah sebuah
kemungkaran atau kemaksiatan karena jelas-jelas menempatkan perempuan,
yang semestinya dilindungi dan dihormati, sekadar sebagai obyek
eksploitasi bagi kepentingan bisnis. Alasan pariwisata dan budaya adalah
omong-kosong belaka.
Mungkin saja ajang ini membuat Indonesia
lebih terkenal, juga membuat orang dari berbagai negara menjadi lebih
tahu tentang keindahan alam dan budaya Indonesia. Namun, itu tidak
otomatis membuat mereka lantas berkunjung ke Indonesia. Mengapa?
Menurut World Economic Forum,
ada 4 faktor yang menentukan Indeks Daya Saing Wisata (Tour and Tourism
Competitiveness Index), yakni iklim usaha, regulasi, infrastruktur dan
SDM. Nah, pada empat faktor itu semua, posisi Indonesia memang jeblok
di bawah urutan 80 dari seluruh negara di Dunia. Coba, apa relevansi
penyelenggaraan ajang Miss World dengan usaha peningkatan 4 faktor tadi?
Tidak ada. Pantaslah bila jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia jauh
di bawah Singapura, Thailand, apalagi Malaysia yang sekitar 27 juta tiap
tahun. Indonesia sendiri hanya dikunjungi oleh kurang dari 9 juta
wisatawan tiap tahun.
Jadi, mengusahakan peningkatan kunjungan
wisatawan melalui penyelenggaraan acara-acara seperti Miss World dan
yang sejenisnya jelas sekali menumpulkan akal sehat, dan sama sekali
bukanlah usaha kreatif meski acara ini didukung oleh Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kenyataan bahwa yang berhadap-hadapan
secara langsung baik dari pihak yang menentang maupun yang mendukung itu
sama-sama Muslim tentu sangat menyedihkan. Pasalnya, tokoh utama di
belakang Miss World, yakni Chairwomen Miss World Organization, Julia Morley, adalah orang kafir. Begitu juga pemegang lisensi penyelenggaraan Miss World 2013 atau Chairwomen Miss World Indonesia,
Liliana Tanoesoedibjo, juga adalah non-Muslim. Tampak sekali di sini,
sesama Muslim terpaksa beradu urat akibat adanya pihak yang rela bekerja
demi kepentingan orang kafir yang memang telah menggunakan orang-orang
Islam untuk membentengi kepentingan mereka.
++++
Sesungguhnya bukan hanya dalam kasus
Miss World saja sesama Muslim harus berhadap-hadapan. Di banyak sekali
kasus—baik dalam hal menyerukan kebaikan seperti kewajiban berjilbab,
kewajiban memungut zakat secara paksa, kewajiban membela Muslim
tertindas dengan mengirim pasukan jihad dan lainnya; maupun dalam dalam
hal mencegah kemungkaran seperti dalam masalah riba, penutupan kompleks
pelacuran atau penutupan pabrik minuman keras, penolakan terhadap
kehadiran kepala negara kafir imperialis; juga dalam proses legislasi
berbagai peraturan perundang-undangan di gedung parlemen dan
lainnya—hampir selalu sesama Muslim saling berhadap-hadapan, karena
pasti selalu ada yang mendukung dan ada yang menentang. Mengapa hal ini
selalu terjadi?
Tak sulit untuk menjawab pertanyaan ini.
Inilah masa kemunduran Islam yang luar biasa. Sebagian (besar) umat
Islam, meski Muslim, tak menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam
berpikir dan bersikap. Miss World diperlukan untuk mengenalkan budaya
dan mendorong peningkatan pariwisata, riba atau bunga bank diperlukan
untuk menutupi opportunity cost, pelacuran dan pabrik minuman
keras tetap diperlukan untuk menyerap tenaga kerja, kepala negara
imperialis yang telah banyak menghancurkan negeri Islam dan membunuhi
warganya harus tetap diterima dengan segala hormat karena ia adalah tamu
yang akan memberikan kemaslahatan buat negeri ini, dll jelas bukan
argumen yang tumbuh dari akidah Islam. Demikian pula bahwa zakat,
jilbab, shalat, puasa dan kewajiban agama lain tidak boleh dipaksakan
meski kepada orang Islam karena bakal melanggar HAM. Ini pun jelas
bukan argumen yang tumbuh dari akidah Islam.
Ketika satu pihak mendasarkan argumennya
pada ajaran Islam, sedangkan pihak lain—meski sama-sama
Muslim—mendasarkan pada selain Islam, pastilah akan berhadap-hadapan.
Jangan lagi mendasarkan pada selain Islam, dengan dasar Islam pun kadang
kita masih tetap mungkin berhadap-hadapan karena perbedaan-perbedaan
pemahaman dan penafsiran. Apalagi tidak berdasar pada Islam. Oleh karena
itu, sekali lagi, kenyataan di atas sesungguhnya wajar belaka. Wajar
pula ketika begitu sulitnya meyakinkan para birokrat di negeri Muslim
ini untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam.
Ketika delegasi DPP HTI menyerukan
kepada para pejabat tinggi di Mabes Polri untuk menghentikan Miss World
karena perhelatan itu adalah sebuah kemungkaran, bertentangan dengan
nilai-nilai Islam, bertentangan dengan kehendak untuk menjaga harkat dan
martabat perempuan dan sebagainya, dijawab bahwa, “Kami tidak membantah
argumen itu karena semua itu benar. Namun, kami tidak bisa melarang
acara (Miss World) karena tidak ada aturan yang dilanggar. Lagi pula
semua pihak telah memberikan rekomendasi untuk acara tersebut.”
Artinya, meski argumen (islami) itu
benar, ia tidaklah bisa dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan.
Alasannya, kata pejabat itu, “Ini negara Pancasila, bukan Negara
Islam”.
++++
Dari sini tampak bahwa usaha perbaikan (islahi)
dari sebuah masyarakat yang tumbuh tidak berdasar pada akidah Islam
memang tidak mudah—kalau tidak boleh disebut mustahil—karena memang
dasar yang digunakan bukanlah Islam. Karena itu, usaha yang bersifat
mengubah (taghyiri) masyarakat yang berdasar pada paham
sekularisme (memisahkan urusan agama yang dianggap semata sebagai urusan
individu dengan urusan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara) menjadi masyarakat yang berdasar pada Islam haruslah
diutamakan. Tanpa ini, kita akan terus mengalami ironi. Ini negeri
Muslim. Penduduk mayoritasnya Muslim. Para pejabatnya kebanyakan Muslim.
Namun, sulit sekali menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dengan
cara Islam karena Islam hanya dijadikan sebagai agama individual, bukan
agama komunal, dalam arti tidak dijadikan sebagai dasar pengaturan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, setelah Miss World
ini sangat boleh jadi akan banyak miss-miss yang lain melengkapi sekian
banyak kemungkaran yang terus merajalela di negeri yang diakui merdeka
atas berkat rahmat Allah ini.
Na’udzubilLahi min dzalik! []
0 komentar:
Posting Komentar